|
---|
Monday, December 8, 2008
Bel sekolah berbunyi. Suasana sekolah yang tadinya hening berubah menjadi riuh. Teriakan murid-murid SMA XII membahana ke seluruh penjuru sekolah. Lorong-lorong sekolah di lantai 1 dan 2 dijejali murid-murid lalu-lalang yang berusaha menghilangkan “trauma” waktu belajar di kelas. Seorang murid dengan seragam yang masih rapih tetap berada di bangku kelasnya. Ia asyik memainkan pensilnya di atas kertas putih di meja.
“Woi, Di… ngapain lo disini? Ayo ke luar.” teriak Daniel antusias di pintu kelas 12 IPS 1 yang berada di lantai 1 sambil memegang bola basket berwarna coklat usang merek Spalding.
Tanpa menunggu lama Ardi mengambil tas backpack-nya, bergerak dari bangkunya dan menghampiri Daniel yang sudah berlari menuju lapangan basket yang berada di tengah sekolah.
Lapangan yang dulunya berwarna hijau terang sekarang berubah menjadi hijau lumut dan warnanya hilang di beberapa bagian lapangan.
Semen yang telah licin memantulkan cahaya matahari yang terik ke sekeliling tembok kelas yang berada di sekitar lapangan itu. Murid-murid kelas 10 yang masuk siang berjalan menaiki tangga menuju lantai 2.
Teriakan murid-murid yang bermain basket menggema ke setiap dinding sekolah. Dentuman bola basket menumbuk lapangan semen membuat Daniel semakin bersemangat menggiring bola ke arah ring basket. Pandangannya tidak lepas dari ring basket yang berada di hadapannya, walaupun teman-teman di sekitarnya menarik urat berteriak meminta-minta Daniel untuk mengoper bola.
Daniel Wibisana, pernah terpilih sebagai tim inti basket SMA XII sewaktu baru masuk SMA XII, tetapi karena sering mangkir latihan akhirnya ia dicoret dari tim.
Pernah juga masuk final 3on3 sebuah kejuaraan nasional tetapi ia dinyatakan kalah karena tidak datang akibat tertidur pulas di rumahnya sampai malam.
Daniel memang terkenal egois dalam bermain basket maupun kehidupan sehari-hari dan penyakit yang paling parah adalah ia jarang menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Ia juga mempunyai sifat malas yang berlebihan. Namun sejak berteman dengan Ardi Maranata, Ia berhasil meredam sifat-sifatnya terutama yang terakhir itu.
Persahabatan Ardi dan Daniel adalah sebuah persahabatan yang saling menguntungkan. Ardi banyak membantu Daniel menghilangkan sifat-sifat buruknya dan juga dalam hal pelajaran. Dan Daniel membantu Ardi dalam hal pergaulan. Ardi yang tergolong murid sangat pintar, tidak mempunyai banyak teman dan sangat canggung dalam bergaul.
“DING!” Bola memantul di papan ring tanpa menyentuh ring basket sedikitpun. Muka-muka kesal terlihat di sekitar Daniel. Salah seorang teman Daniel berteriak, ”Man, liat kanan kiri dong… oper… oper.”
Daniel mematung di luar garis 3 point dengan wajah datar.
Di pintu kelas terlihat Ardi bersender dengan membawa backpack-nya.
Semangat Daniel bermain basket menghilang begitu saja seiring keluhan temannya. Ia bergegas mengambil tasnya di bawah tiang basket dan pergi menghampiri Ardi.
”Di… ke mal yuk.” Ajak Daniel.
”Makan dulu ah… laper gua.” jawab Ardi memegangi perutnya yang sangat rata. Tak ada lemak, tak ada otot.
”Makan di mal aja.” usul Daniel.
”Ga ada duit man. Di Mas No aja… murah, enak, kenyang.” ujar Ardi sambil tetap berjalan keluar area sekolah menuju warteg Mas No yang terletak di pinggir jalan tidak jauh dari SMA XII.
Warteg yang berdiri sejak plang Nyoya Meneer di atasnya didirikan itu sangat ramai pengunjung. Dari pagi sampai malam warungnya tidak pernah lengang. Wartegnya yang berwarna biru bukan saja dipenuhi anak-anak SMA tetapi juga supir-supir angkot, pegawai-pegawai, pekerja-pekerja kasar sampai eks pegawai rendahan yang diantar supirnya dengan mobil E-class.
Hari Senin ini sangat panas. Jalanan terlihat lebih berdebu dari biasanya. Panas yang sangat menyengat kepala terutama untuk orang-orang yang berambut cepak seperti Ardi. Mereka berjalan pelan berusaha tidak mengeluarkan keringat terlalu banyak dan mencari keteduhan yang diberikan pepohonan yang juga berusaha hidup di tengah sengatan matahari.
Dari luar, warteg Mas No terlihat mulai dipadati pelanggannya. Ardi dan Daniel agak mempercepat langkahnya karena khawatir tidak mendapat tempat duduk dan lauk yang rasanya ”mwak nyuzz”.
Ardi melongok ke dalam warung Mas No. mencari tempat duduk yang kosong. Di dalam sudah dipenuhi orang-orang yang khusyuk manyantap makanannya seolah mereka berada di dunia kulinernya sendiri.
”Nil, penuh banget Nil. Adanya cuma ’kursi panas’” ujar Ardi.
”Ya sudah lah. Perut udah ga bisa diajak damai. Masuk aja.” jawab Daniel.
Ardi dan Daniel duduk di pojok terpanas warteg Mas No. Tempat yang sangat dihindari para pengunjung yang sudah sering ke tempat itu. Letaknya yang di pojok ruangan dekat tempat cuci piring sehingga sering terciprat air sabun dan merusak rasa makanan mas No yang gurih ditambah panas yang dihantarkan kompor di sebelahnya cukup mengganggu konsentrasi terutama saat menyantap makanan pedas.
Ardi dan Daniel menaruh tas mereka di meja panjang kemudian menghampiri etalase yang dipenuhi aneka ragam menu klasik warteg. Telor ceplok, telor dadar, oseng tempe, sayur sop,... bisa dibilang sangat mirip dengan menu rumahan tapi dengan ekstra vetsin dosis tinggi.
”Man lo tau gak?” tanya Daniel tiba-tiba. Wajah Daniel terlihat sangat bersemangat.
”Apaan?” jawab Ardi tanpa melepaskan pandangannya dari makanan-makanan di etalase mas No.
”Mas soto aja deh sama nasi, minumnya es teh manis.” pesan Ardi kepada Mas No.
”Soto satu, es teh manis satu!” teriak mas No kepada istrinya yang bertanggung jawab atas produksi soto dan segala jenis minuman di warteg Mas No.
”Mo ada anak baru dari SMA Caraka.” kata Daniel seraya menampilkan muka mupengnya
Daniel menunjuk telor dadar, sayur sop dan udang balado. Disusul gerakan sigap Mas No mengambil lauk-lauk yang ditunjuk Daniel.
”SMA Caraka Bandung?” tanya Ardi
”Iya!” tegas Daniel.
”Yang sekolah kaya Tarki itu?”
”Iya!”
”Kok lo tau?”
”Dari Regi, dia dikasih tau Renta, Renta dikasih tau bu Siwi guru BP.” jelas Daniel.
”Terus?” tanya Ardi cuek.
”Wah, cewek man cewek!” jelas Daniel.
Ardi dan Daniel kembali ke meja mereka. Daniel langsung menyendok makanan di piringnya dan secepat kilat memasukkan ke dalam mulutnya.
”Emang gua pikirin!” ujar Ardi cuek.
”Yang ini wajib lo pikirin.”
”Emang lo tau orangnya?” tanya Ardi
”Ya enggak.” jawab Daniel dengan suara lemah
”Trus... ngapain dipikirin?” tanya Ardi lagi, yang di depannya sudah tersedia soto daging dan nasi hangat.
”Nih anak pasti foxy abis.”
”Apaan? Foxy? Boxy?”
”Norak lo! Cantik abis!”
”Tapi lo tau darimana?”
”I’ just know, man!”
”Lo kesurupan setan DVD bajakan ya?! Ngomong bahasa normal aja!”
”Payah lo Di, lo seneng cewek ga sih? jangan-jangan lo homo lagi.”
”Monyet lo!”
”Gua yakin banget nih cewek pasti cantik sinting”
”Ooo... jadi lo suka yang sinting!”
”Cape gua ngomong sama lo.” keluh Daniel yang kemudian menyantap makanannya disusul tawa mereka berdua.
”Menurut nara sumber yang terpercaya...” cerita Daniel dengan mulut penuh makanan.
”Siapa? Regi?” tebak Ardi.
”Iya. Kata Regi, nih anak pernah juara covergirl gitu.”
”Tau dari mana dia?” tanya Ardi.
”Dari Renta, Renta di kasih tahu bu Siwi guru BP.”
”Bu Siwi jangan-jangan orang BIN1.” canda Ardi.
”Ha... ha... ha... gak mungkin lah. Masa badan gendut gitu, jadi intelejen.”
”Jangan salah. Malah yang kayak gitu yang enggak bakal ketahuan.”
Mereka berdua kembali tertawa.
Warteg Mas No sejenak menjadi berisik oleh tawa mereka berdua.
”Kita taruhan aja. Kalo ternyata gua bener lo bayar gua limapuluh ribu.” tantang Daniel.
”Terserah lo lah”
”Liat aja nanti, feeling gua ga pernah salah.” sombong Daniel.
”Ini mah bukan feeling, Lo kan dapet info dari para agen rahasia lo.” jawab Ardi.
”O iya, ya...”
Selasa pagi di SMA XII
“Hari ini kita kedatangan murid baru. Namanya Natalie Putri. Dia baru pindah dari Bandung.” Bapak Darno, guru bahasa Indonesia memperkenalkan Natalie yang sedang berdiri di sebelahnya. Kulit bapak Darno yang coklat sawo kematangan membuat kulit Natalie yang putih bersih semakin berkilau.
Rambut hitam Natalie bercampur serasi dengan rambut kecoklatannya dan dikuncir rapi. Baju SMA yang sangat membosankan, di tubuh Natalie seolah berubah menjadi karya musim semi dari Mango. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Mata Ardi tak berkedip sedikitpun. Sama dengan cowok-cowok lain di kelas 12 IPS 1.
“Silahkan Natalie memperkenalkan diri” ujar Pak Darno sambil duduk di kursi guru tanpa meninggalkan pandangannya dari Natalie.
“Nama saya Natalie Putri. Dari SMA Caraka Bandung. Saya tinggal di Bandung selama 2 tahun. Sebelumnya saya tinggal di Jakarta.” Natalie berhenti sambil memandang Pak Darno dengan wajahnya yang sangat menawan.
“Sudah?... gitu aja?” tanya pak Darno.
Natalie membalas dengan anggukan kecil.
“Ya sudah… kamu duduk diii…” Pak Darno mencari-cari tempat duduk kosong dan berusaha menjauhkan Natalie dari cowok-cowok di pojok kelas yang sedari tadi seperti ingin memangsa Natalie.
“Kamu duduk di sana saja.” Pak Darno menunjuk meja Adisti yang duduk bersama Regi. “Regi kamu pindah ke belakang sama Agung.” perintah Pak Darno.
Natalie berjalan perlahan menuju bangkunya. Rambutnya berkilau seperti disinari cahaya. Wajah mungilnya melemparkan senyum yang bisa melelehkan batu es bang Dana tukang cendol depan sekolah.
Natalie duduk tidak jauh dari meja Ardi yang berada di belakangnya.
Lembaran baru kehidupan Ardi akan dimulai. Kini hidup Ardi yang hambar serasa mempunyai tujuan. Natalie Putri!
Suara bel mengisi ruang-ruang sekolah. Riuh rendah suara murid-murid SMA XII menyaingi suara anak-anak TK yang bersebelahan dengan SMA XII. Gerombolan murid membanjiri pelataran sekolah.
Sebagian tetap berada di lorong-lorong sekolah seolah jam pelajaran belum cukup buat mereka. Sebagian lain berusaha secepat mungkin meninggalkan area sekolah, tidak ingin waktunya “termakan” dunia pendidikan.
Anak-anak cowok berkumpul di depan pintu gerbang sekolah. Sebagian dari mereka duduk di trotoar semen di bawah pohon besar depan sekolah. Sebagian duduk di warung Teh botol dan sebagian lagi duduk-duduk di depan lab sekolah yang berada tidak jauh dari gerbang sekolah namun masih berada di dalam lingkup SMA XII.
Ardi berjalan dengan langkah cepat menuju tenda mie ayam Gatot yang berada di sebelah kanan gerbang SMA XII.
“Gila… Nil… gilaaa!” teriak Ardi heboh seraya melemparkan tasnya di sebelah Daniel yang sedang asyik menikmati mie ayam panas.
Di kanan Daniel dipenuhi anak-anak kelas 11 yang masuk siang dengan baju yang masih rapih dan harum.
“Kenapa nih… seru banget.” tanya bang Gatot dengan logat jawanya yang kental sambil memainkan sumpit di tangannya.
Daniel tetap asyik mengunyah mie ayam yang telah berubah warna menjadi oranye karena dipenuhi saus sambal.
Daniel melirik ke arah Ardi, ”Kemaren, lo gua ceritain ga peduli…” gerutu Daniel kemudian kembali menyumpit mie ayamnya dalam jumlah besar dan memasukkannya sekaligus ke mulut.
“Sori, sori… gua ga nyangka, cantik banget.” Jawabnya seraya duduk di samping Daniel.
“Lo dah liat blom?” tanya Ardi.
Daniel mengunyah mienya dengan terburu-buru lalu menelannya bulat-bulat. “Blom… man… mendingan lo pesen dulu… ngobrolnya nanti aja… laper nih gua.” Keluh Daniel sambil memberikan mangkuknya ke Bang Gatot.”Tot… nambah satu. Yang bayar Ardi, dia ngutang ke gua 50.000.”