|
---|
Monday, March 22, 2010
Lovin’ For Cinta
Buku yang ia pegang terhempas keras di atas bangku. Kaget. Tapi, walau bagaimanapun, masalah ini harus kuselesaikan. Harus!Waduh! Berita ini cepat sekali tersebar. Hanya dalam waktu dua minggu, sebagian besar mahasiswa sudah pada tahu. Bukan cuma dalam forum ini sendiri, tapi juga di luarnya, khususnya kalangan universitas tempat forum ini hidup. Benar-benar berita kilat. Dua senior Forum Penulis Ciputat alias Forlistat bersaing mendapatkan seorang cewek. Apa?! Cewek? Nggak salah tuh, anak forlistat kayak ghitu. Bukannya saingan nulis! Iya, cewek alias perempuan. Tidak diragukan lagi, Indra yang mempunyai nama besar sebagai ketua BEMF (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) Hukum dan kaderisator forlistat, suka sama seseorang yang dia istilahkan dengan ‘rembulan purnama’. Pemuda tinggi yang aslinya gaul, funky en anak band ini, tidak canggung-canggung curhat di kamarku, mengingat perempuan yang ditaksirnya itu satu kelas denganku.
Di sisi lain adalah Asep atau sempurnanya bernama Asep Marwali, ngotot pingin disalamin kepada cewek yang sama. Penulis handal forlistat yang telah meluncurkan belasan novel ini adalah kakak kelasku di Fakultas Sastra. Jangan heran kalau dia seringkali terserang demam bila ketemu tuh cewek, karena dia bukanlah tipe cowok pintar ‘menggauli’ cewek.Itulah sejengkal kata tentang keduanya.Sebenarnya satu lagi neh! si Azwar, ketua forlistat.
Dia adalah saingan tertangguh keduanya. Tampang keren, bijak, dan wibawanya membuat cewek-cewek berkhayal, melayang ke langit tertinggi. Tapi kayaknya dalam urusan ini, dia bisa ditepis deh! dianggap nggak ada. Dia adalah seorang organisatoris tulen, tidak tertarik dengan dunia cinta-cintaan.Sekarang si cewek. Lengkapnya Cinta Purnama Sinta, atau dipanggil Cinta. Wow! Bukan cuma namanya yang cakep man! orangnya juga kece. Dia tergolong pemula di forlistat. Semester tiga denganku di fakultas yang sama dan baru dua bulan resmi sebagai anggota forum kepenulisan ini. Karena tergolong baru, ia tidak banyak bicara waktu pelatihan mingguan, dan tidak banyak tingkah kalau lagi ada tugas.Aku akui sejak lama, kalau dia memang perempuan cantik, baik, dan penuh pesona luar dalam. Sifat asli dan segala keindahan yang ada padanya, sudah aku tahu betul. Ia tidak saja membuat jantung dua senior itu ciut, mahasiswa di kelasku pun merasakan gunung es di dada mereka meleleh bila berlama-lama menatap tuh cewek.
Cewek itu pernah berkata kepadaku, “Di, banyak forum udah gue jelajahi. Dari yang berkulit ekstrim sampai yang berdaging liberal. Tapi forum yang paling gue sukai adalah forlistat. Forum penulis itu suasananya beda banget! Senior-seniornya gokil, nggak suka jaim-jaiman. Mereka nggak manfaatin senioritas untuk membuat nyata strata. Pokoknya beda banget deh!” akunya. “Kalo kamu?”
“Sama. Gue juga suka senior-senior forlistat. Kayak Indra yang lucu, Azwar yang gokil ‘en Rosid yang gaul.”“Iya. Indra tuh yang lucu, belum ngomong udah ketawa gue! Apalagi Azwar.”“Didi belum dinner kan? Pizza yuk!” ajak Indra di suatu malam setelah kami latihan musikalisasi puisi bersama di kampus.
Wah! Seleramu memang tinggi, Ndra. Aku sedikit kaget, karena ngajaknya bukan lagi Siolama atau Medina, yang sekalipun dua rumah makan itu juga berkelas. tapi ini pizza! Pasti ada maunya nih.“Makasih. Tapi maaf ya, gue cuman bawa duit…”“Gue traktir.”“Waw! makasih banget nih, Ndra. Aku nggak bakalan nolak.”Kami beranjak menuju restoran pizza yang tempatnya tidak begitu jauh. Di tengah acara makan-makan, terlintas dibenakku, ada apa ini? Kok Indra baik banget mau nraktir? Bahkan, ini kelebihan baik. Minta disalamin sama Cinta Purnama Sinta? Pasti aku bantu. Mending aku tanya saja langsung ya.“Hmm… sekali lagi nih Ndra, makasih atas…”“Di, salamin gue dong sama Cinta. Bukan salam biasa, tapi salam yang agak-agak istimewa.” Ucapannya memotong kalimatku.Tuh kan!“Occe Boss! Tapi kenapa Bos gak langsung tembak aja biar lebih dramatis. Cinta pasti nerima.”“Yah, belum waktunya, Di. Kami baru saja dua bulan saling kenal. Itu pun interaksinya cuman di forum doang. PDKT dulu lah.”“Tapi gini, Ndra. Mudah bagi lo deketin dia, karena dia seneng dengan karakter lo yang gokil. Dia ngakuin sendiri ke gue.”“Serius?”“Yess! Tapi kita tetep usaha, okey. Gue siap bantu.”“Thanks”Pulang dinner dan setelah pisah dengan Indra, langkahku dicegat oleh Asep dari belakang. Sedikit kaget aku menoleh ke arahnya. Wajahnya tampak gelisah ditambah dengan tiga kerutan berbaris tak beraturan di dahinya.“Duh! Asep. Ngagetin aja.”“Di, bisa minta waktunya sebentar? Gue mo ngomongin suatu masalah yang amat amat serius. Tentang cinta.”Ah! Kebiasaan. Serius buatmu, nggak buatku
“Aduh! sorry yah, udah malem.”“Lha! Ini penting, Man. Problem esensi, primer, substansi, nggak instrumen. Hancur dunia kalo diabaikan. Kita-kita kan pemerhati alam cinta. Please! ‘Ntar gue traktir deh.”“Tapi”“Tapi serius.”Karena Asep terus memaksa, aku tak bisa menolak.“Ya udah. Tapi langsung ke point-nya ya, soalnya gue belum belajar dan banyak tugas makalah nih, belum diselesaiin.”“Tapi gak boleh di sini, di gang sumpek deket got kotor, karena cinta itu suci.”Ett… dah! Belagu amat sih.Ia mengajakku ke taman kampus.
“Sama. Gue juga suka senior-senior forlistat. Kayak Indra yang lucu, Azwar yang gokil ‘en Rosid yang gaul.”“Iya. Indra tuh yang lucu, belum ngomong udah ketawa gue! Apalagi Azwar.”“Didi belum dinner kan? Pizza yuk!” ajak Indra di suatu malam setelah kami latihan musikalisasi puisi bersama di kampus.
Wah! Seleramu memang tinggi, Ndra. Aku sedikit kaget, karena ngajaknya bukan lagi Siolama atau Medina, yang sekalipun dua rumah makan itu juga berkelas. tapi ini pizza! Pasti ada maunya nih.“Makasih. Tapi maaf ya, gue cuman bawa duit…”“Gue traktir.”“Waw! makasih banget nih, Ndra. Aku nggak bakalan nolak.”Kami beranjak menuju restoran pizza yang tempatnya tidak begitu jauh. Di tengah acara makan-makan, terlintas dibenakku, ada apa ini? Kok Indra baik banget mau nraktir? Bahkan, ini kelebihan baik. Minta disalamin sama Cinta Purnama Sinta? Pasti aku bantu. Mending aku tanya saja langsung ya.“Hmm… sekali lagi nih Ndra, makasih atas…”“Di, salamin gue dong sama Cinta. Bukan salam biasa, tapi salam yang agak-agak istimewa.” Ucapannya memotong kalimatku.Tuh kan!“Occe Boss! Tapi kenapa Bos gak langsung tembak aja biar lebih dramatis. Cinta pasti nerima.”“Yah, belum waktunya, Di. Kami baru saja dua bulan saling kenal. Itu pun interaksinya cuman di forum doang. PDKT dulu lah.”“Tapi gini, Ndra. Mudah bagi lo deketin dia, karena dia seneng dengan karakter lo yang gokil. Dia ngakuin sendiri ke gue.”“Serius?”“Yess! Tapi kita tetep usaha, okey. Gue siap bantu.”“Thanks”Pulang dinner dan setelah pisah dengan Indra, langkahku dicegat oleh Asep dari belakang. Sedikit kaget aku menoleh ke arahnya. Wajahnya tampak gelisah ditambah dengan tiga kerutan berbaris tak beraturan di dahinya.“Duh! Asep. Ngagetin aja.”“Di, bisa minta waktunya sebentar? Gue mo ngomongin suatu masalah yang amat amat serius. Tentang cinta.”Ah! Kebiasaan. Serius buatmu, nggak buatku
“Aduh! sorry yah, udah malem.”“Lha! Ini penting, Man. Problem esensi, primer, substansi, nggak instrumen. Hancur dunia kalo diabaikan. Kita-kita kan pemerhati alam cinta. Please! ‘Ntar gue traktir deh.”“Tapi”“Tapi serius.”Karena Asep terus memaksa, aku tak bisa menolak.“Ya udah. Tapi langsung ke point-nya ya, soalnya gue belum belajar dan banyak tugas makalah nih, belum diselesaiin.”“Tapi gak boleh di sini, di gang sumpek deket got kotor, karena cinta itu suci.”Ett… dah! Belagu amat sih.Ia mengajakku ke taman kampus.
Suasana kampus masih ramai oleh lalu-lalang mahasiswa yang masuk kelas malam. Bahkan di beberapa tempat berkumpul melingkar mahasiswa yang sedang diskusi.Jujur saja, aku merasa kesal dengan ajakan ini. Capek! tapi nggak papa deh, sabar!“Di, dengar! ada suara aneh.” Ia tampak kaget dengan mata mengelilingi taman, seperti mencari sesuatu. Karena tingkah anehnya itu, otomatis aku kaget dan ikutan celingak-celinguk.“Suara apaan, sih?”Beberapa saat kayak orang bingung, ia pun akhirnya terdiam, menunduk sambil menutup mata. Ini berlangsung hampir satu menitan. Lalu dengan lantang ia menggombal bak penyair sok bijak.
“Dulu…Karena cinta;
gue senyumKarena cinta;
gue ketawaKarena cinta;
gue gilaKemarin…Gara-gara cinta;
gue nangisGara-gara cinta;
gue sakitGara-gara cinta;
gue matiKini…Tanpa cinta;
gue hampaGue pingin… Cinta Purnama Sinta cintai gue.”Aaarrgghh… belagu bener!
“ELO PIKIR, LO BISA MENANG SAINGAN SAMA GUE DALAM HAL CINTA!”Duggh! Suara Indra mengagetkan kami. Tak diduga, tubuh jangkungnya muncul dari sudut gelap taman.
Wajah Asep tampak pucat dalam suasana seperti itu.
“Elo memang punya nama karena karya. Tapi perempuan seperti Cinta nggak bakalan bangga berdampingan dengan orang ternama seperti elo.” Dingin Indra meluncurkan ucapannya.“Hey, lo nantangin gue ya! Kalo lo memang pesaing tangguh, tunjukkan! Kita saingan sehat.” Suara Asep terdengar emosi.“Oke. Memang itu yang gue inginin.”“Didi, inget janjimu. Salamku buat Cinta.” Indra menatapku tajam.“Sampaikan salamku.” Asep tak mau kalah.“Salamku”“Salamku”“Sala…”“Sudah, sudah! Kalian berdua senior gue, dewasa dikitlah. Jangan bertengkar.”“Jadi, siapa yang akan lo salamin.”“Kalian berdua akan gue salamin.
“Elo memang punya nama karena karya. Tapi perempuan seperti Cinta nggak bakalan bangga berdampingan dengan orang ternama seperti elo.” Dingin Indra meluncurkan ucapannya.“Hey, lo nantangin gue ya! Kalo lo memang pesaing tangguh, tunjukkan! Kita saingan sehat.” Suara Asep terdengar emosi.“Oke. Memang itu yang gue inginin.”“Didi, inget janjimu. Salamku buat Cinta.” Indra menatapku tajam.“Sampaikan salamku.” Asep tak mau kalah.“Salamku”“Salamku”“Sala…”“Sudah, sudah! Kalian berdua senior gue, dewasa dikitlah. Jangan bertengkar.”“Jadi, siapa yang akan lo salamin.”“Kalian berdua akan gue salamin.
Dan keputusannya ada di tangan Cinta. Terserah dia, siapa yang dia pilih!”Mata keduanya tak berkedip menatapku.“Gue pulang dulu,” pamitku kemudian.Hening. Keduanya tidak kuhiraukan lagi. Aku berbalik pulang. Namun baru beberapa langkah“Hei tunggu!” suara Asep menghentikan langkahku.“Gue kan udah janji mau nraktir. Tapi di warteg aja ya,” bisik Asep.“Duh! Asep... Asep, simpen saja duit lo buat tambahan kuliah,” gumamku namun tak terdengar olehnya. Aku menolak ajakannya dan berlalu pergi.“Heiii Didiii…”Pagi ini, kelas sepi karena masih belum ada mahasiswa yang datang, kecuali aku dan Cinta yang duduk tertunduk di bangku kami masing-masing. Sesaat aku menoleh ke arah perempuan itu.“Wah, cantiknya! Aku salamin gak ya, anak yang dua itu?” benakku ragu.Asli! Salamin anak yang dua itu entar dulu deh. Cinta terlalu cantik di hari ini. Sungguh! Entah kenapa, tiba-tiba timbul keinginanku untuk merayunya, sekaligus tidak rela ‘purnama sempurna’ ini diambil siapapun.
Sekalipun oleh Indra dan Asep, dua cowok senior forlistat. Aku ingin dia jadi milikku. Iya, serius!Eit! Tapi tunggu dulu. Janji tetep janji. Aku harus sampaikan salam mereka.Kudekati perempuan manis itu di bangkunya.“Di, ada salam dari Azwar. Katanya dia ak…”“Cinta Purnama Sinta…” kupotong kalimatnya cepat, lalu menatap lekat pesona indah wajahnya. Exactly ia jadi salah tingkah.“Ada apa?” tanyanya.“Aku ingin ngomong serius sama kamu, sekarang.”“Ngomong apaan?” Cinta menatapku.Duh, aku deg-degan! Aku mau bilang loving you, Cinta. Tapi tunggu, harus ada pendahuluan.“Eksistensi forlistat ada ditanganmu,” ucapku cepat.“Maksudmu?” Ia mengerutkan dahi. Tampak serius.“Dua senior forlistat bersaing memperebutkanmu. Dua-duanya suka sama kamu dan sampaiin salam istimewa buatmu.”Brukk!Buku yang ia pegang terhempas keras di atas bangku.
Kaget. Tapi walau bagaimanapun masalah ini harus kuselesaikan. Harus!“Aku nggak bisa bayangin apa yang akan terjadi pada forlistat bila kaupilih salah satu diantara mereka. Keduanya sama-sama berperan besar dalam forum ini.”
“Siapa mereka?” tanyanya.“Indra sampaiin salam istimewa buatmu, dan Asep salam jitak cinta.”Cinta tertunduk, tenggelam dengan pikiran-pikirannya.“Kau pilih siapa?” tanyaku kemudian.Dia menggeleng. Iya! Dengan gelengan mantap. Ha haa… Syukur, syukur.“Nggak pilih siapa-siapa?” tanyaku.Please! jawab Cinta. Jangan diam. Setelah ini, akan kubisikkan kata-kata indah buatmu, dariku.“Aku mengagumi mereka berdua, tapi aku lebih mengagumi seseorang selain mereka. Wibawanya telah membuatku suka.
”Siapa dia? Itukah aku? Mudah-mudahan.“Kurasa, sekaranglah waktu yang tepat untuk kuungkapkan. Bisa kan, aku minta tolong sama kamu?”“??”“Tolong sampaiin ke Azwar, Ketua forlistat, kalo aku menyukainya.”Gubrak!!!
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)