RECENT POST

Friday, March 26, 2010


CERPEN,TERJEBAK DALAM LORONG WAKTU.


“Kalian percaya akan adanya alam gaib?” tanya nenek pada anak-anak. Serentak mereka mengangguk,Susan bersama kelima temannya baru saja sampai di rumah neneknya Yolan di daerah Bugisan, sebuah desa di kota Palagan Ambarawa. Suasananya begitu tenang, tentu saja jauh dari kebisingan kota.Mereka sudah lama merencanakan liburan ini. Begitu Yolan bercerita
langsung saja Susan, Erni, Wina, Wirya, dan Marshall setuju untuk mengisi liburan di sana.

Pagi itu mereka berenam menyusuri sebuah hutan kecil. Menurut cerita, di hutan itu pernah terjadi sebuah tragedi pembunuhan. Menurut neneknya Yolan, dulu waktu masih zaman penjajahan Belanda, ada pemuda pribumi yang dianggap sebagai pemberontak dan dihukum tembak. Saat sedang berjalan menikmati keadaan sekitar tiba-tiba saja wajah Susan terlihat pucat pasi. Kelima sahabatnya reflek menghentikan langkahnya.

“Kamu kenapa San?” tanya Wirya penuh perhatian.
“Kalian dengar ada suara tembakan?” ujar Susan. Erni dan Yolan saling berpandangan Wirya dan Marshall menajamkan pendengarannya, kemudian menggeleng.
”Masa kalian tidak dengar? Suara tembakan itu jelas terdengar bahkan beruntun,” Susan meyakinkan.
Mereka semakin bingung saat Susan membelalakkan matanya, ketakutan.
“Lebih baik kita kembali ke rumah Nenek!” usul Erni sambil membimbing Susan yang terlihat begitu pucat. Sesampainya di rumah Nenek.
“Lho? Kalian sudah kembali? Cepat sekali,”
tegur Nenek heran.
“Susan tiba-tiba saja sakit Nek,” jawab
Yolan. Setelah duduk Yolan memberikan segelas air putih pada Susan. Nenek memandangi wajah Susan yang terlihat kebingungan.

Nenek merasa yakin dalam hatinya, ada yang tak beres pada gadis itu. Jangan-jangan? Nenek mendekat dan menyentuh bahu Susan perlahan. Dengan hati-hati Nenek mulai bertanya. Susan masih tertegun. Anak-anak yang lain segera duduk, menanti cerita dari Susan.

“Entahlah Nek, saat memasuki hutan itu tiba-tiba saja saya mendengar suara rentetan
tembakan. Tapi saat saya tanya yang lain mereka tidak mendengarnya, lalu…” Susan menggantungkan kalimatnya, menghela nafas panjang, dan wajahnya, yang baru saja
terlihat memerah, tiba-tiba kembali pucat.
“Lalu?” Nenek semakin menyelidik.
“Lalu saya melihat ada seorang pemuda yang sedang diarak masyarakat dan beberapa orang bule,”
Susan melanjutkan kalimatnya. Yang lain tampak tercekat. Tapi Nenek terlihat tenang, bahkan seakan memahami apa yang sedang terjadi dengan Susan.

“Nenek kira ada ikatan batin antara Susan dengan pemuda yang dilihatnya,” kata-kata Nenek itu membuat anak-anak saling pandang, mereka tercengang.
“Bagaimana mungkin Nek? Apakah yang dilihat Susan itu hantu?” tanya Yolan.
“Kalian ingat cerita Nenek tentang tragedi yang terjadi di hutan itu? Nenek rasa Susan melihat pemuda pribumi itu. Kejadian itu terjadi 70 tahun lalu. Saat itu Nenek masih berumur 7 tahun,” Nenek membuka ceritanya. Tentu saja anak-anak sangat terkejut.
“Wah berarti Nenek awet muda ya? Nenek saat ini tidak kelihatan kalau sudah berumur 77 tahun,”
ungkap Marshall memuji. Nenek tersenyum simpul mendengar pujian itu.
“Kamu jangan memotong cerita Nenek dong Shall!” Wirya terlihat bete.

“Lanjutkan Nek!” Erni terlihat antusias sekali. Yang lain dengan saksama mendengarkan.
“Saat penjajahan Belanda dulu, di daerah ini Belanda menguasai tanah desa dan juga semua hasil bumi desa ini. Penduduk harus menyerahkan hasil bumi dengan harga di bawah standar. Namun, ada pemuda pribumi yang mengetahui hal itu. Ia kemudian menganjurkan warga desa untuk tidak menjualnya pada bule-bule yang berkuasa itu. Oh ya, nenek belum memberitahu nama pemuda itu. Namanya Wiryo,” anak-anak spontan menoleh ke arah Wirya.
“Jangan-jangan kamu keturunannya nih Wir!” goda Marshall. Wirya mendengus kesal. “Teruskan
Nek,” tukas Wirya mengalihkan perhatian. Nenek tersenyum geli memandang tingkah anak-anak. Nenek menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
“Tuan William tahu kalau Wiryo mempengaruhi warga desa untuk membangkang. Dia berang dan
memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Wiryo, hidup atau mati.”
“Wah seperti cerita perjuangan si Pitung jago Betawi ya Nek?” celetuk Marshall. Yang lain langsung memandang Marshall dengan sebal. Marshall hanya tersenyum geli.
“Nah, suatu hari Wiryo tertangkap dan ditembak mati di hadapan warga desa Wiryo. Saat itu tak satu pun warga desa yang mau membela Wiryo,” jelas Nenek.
“Mungkin yang dilihat Susan tadi hantunya Wiryo yang penasaran ya Nek?” tanya Yolan.
“Mungkin juga! Karena kalau saja warga desa berani membela Wiryo dan melawan penjajah mungkin saja Wiryo tidak akan mati sia-sia.”
“Tapi mengapa yang bisa mendengar dan melihat
hanya Susan Nek?” tanya Erni.
“Itulah yang tadi Nenek bilang ikatan batin.
Kalian percaya akan adanya alam gaib?” tanya Nenek pada anak-anak. Serentak mereka mengangguk. Nenek bangkit dari duduknya.


“Tidak ada yang mustahil di dunia ini kan? Ya sudah sekarang kalian makan dulu. Nenek masak opor ayam untuk kalian. Ceritanya akan Nenek lanjutkan nanti malam.”
“Cihuy!” Sorak anak-anak gembira.Malam itu sehabis sholat Isya anak-anak kembali berkumpul untuk mendengarkan cerita nenek. Tanya jawab pun terjadi. Susan yang merasa tak enak badan tiduran di kamar. Saat seru-serunya mereka berdiskusi, tiba-tiba saja Susan keluar dari kamar dengan wajah pucat pasi. Badannya terlihat gemetar, tangannya memegang perut, dan tiba-tiba saja Susan limbung jatuh ke lantai. Reflek yang lain mendekat.
“Nek lihat! Perut Susan berdarah!” teriak Yolan.
“Seperti luka tembakan,” desis Wirya.
Anak-anak terlihat ketakutan.
“Sudah Nenek duga, pasti ada ikatan batin antara Susan dengan Wiryo. Susan merasakan apa yang dulu dirasakan oleh Wiryo. Dan yang dilihat Susan tadi pagi di hutan bukan hantu. Wiryo masih hidup di antara dua alam!” jelas Nenek.
“Maksud Nenek?”
“Wiryo terjebak dalam lorong waktu!!”
“Nek! Cepat kita bawa Susan ke rumah sakit!”
“Percuma! Ini tidak bisa diobati secara medis. Wiryo ingin kita membantunya mendapatkan
keadilan.”
“Tapi, bagaimana caranya Nek?” anak-anak terlihat gusar. Atas perintah Nenek, Susan diangkat dan dibaringkan ke tempat tidur. Wina mengompres dahi Susan, panas badannya begitu tinggi. Sementara itu, atas perintah Nenek juga, Marshall, Erni, Wirya, dan Yolan duduk membuat lingkaran dengan nyala 13 lilin di tengah-tengah mereka. Nenek bilang Yolan dan Wirya
akan menembus lorong waktu. Hari di mana Wiryo ditembak 70 tahun yang lalu. Mencegah agar penembakan itu tidak terjadi sama dengan menyelamatkan nyawa Susan. Mereka duduk bersimpuh membuat lingkaran.

“Dengar Yolan, Wirya! Kalian mempunyai 2 jam untuk menyelamatkan nyawa Susan. Tegakkan keadilan untuk Wiryo. Bujuk masyarakat desa untuk berani memberontak pada penjajah. Kalian harus sudah kembali sebelum nyala lilin ini redup. Karena kalau tidak, kalian takkan bisa kembali dan selamanya akan terjebak di lorong waktu. Nyawa Susan tak akan tertolong. Kalian
mengerti?” Yolan dan Wirya saling pandang kemudian mengangguk. Nenek mengucapkan kalimat yang sama sekali tak bisa mereka mengerti. Yolan dan Wirya merasakan tubuhnya terseret ke sebuah lorong hitam. Kemudian, saat membuka mata, mereka telah berada di hutan yang mereka lewati tadi pagi. Yolan dan Wirya melihat sebuah pintu yang bersinar. Pasti sinar itu berasal dari 13 cahaya lilin yang dinyalakan nenek.
Itu adalah jalan satu-satunya untuk mereka kembali ke dunia nyata. Yolan menajamkan pendengarannya.
“Keributan di desa, kita harus cepat ke sana!” setengah berlari Yolan dan Wiryo bergegas ke
arah desa yang tak begitu jauh dari hutan. Sesampainya di sana mereka melihat seorang pemuda yang diikat pada sebuah pohon.
“Itu Wiryo!” desah Yolan. Wirya mencermati
kerumunan penduduk yang ada. Mereka sama sekali tidak berusaha membela Wiryo.
“Pak! Kenapa kita tidak berusaha mencegah hal
ini terjadi? Bukankah Wiryo pahlawan desa ini?”
Seorang lelaki setengah abad memandang
heran ke arah Wirya.“Aden bukan warga desa ini? Apakah aden tidak tahu, di sini tidak ada yang berani menghalangi keinginan tuan William. Bisa ikut dihukum mati!” Ucap lelaki
itu penuh rasa takut.

“Tapi pak, bukankah masyarakat di sini jumlahnya lebih banyak? Kalau kita bersatu Wiryo bisa kita selamatkan,” celetuk Yolan. Sementara itu, ikatan Wiryo dilepas dari pohon kemudian diarak menuju hutan. Tidak ada satu pun yang berani membela Wiryo.
Bahkan saat pasukan penembak sudah siap pada posisinya, belum ada satu pun warga yang tersentuh hatinya untuk membela Wiryo. Dengan nekat Wirya berlari ke arah Wiryo dan berdiri di depannya.“Hei ! Siapa kau pemuda pribumi?!”
Wirya merentangkan kedua tangannya.
“Penduduk semua! Wiryo adalah pahlawan
kalian. Mengapa sekarang kalian tidak berusaha
menolongnya? Bersatulah dan kalian akan menang!”
teriak Wirya lantang.
“Siapa kau?” Tanya Wiryo yang berada di belakang Wirya.
“Nyawa teman kami terancam kalau sampai kau
ditembak,” jawab Wirya cepat. Sepertinya Wiryo cepat tanggap. Jadi usahaku menghubungi masa depan berhasil, batinnya.
“Minggir! Atau kami juga akan menembakmu!” teriak William lagi.
“Pasukan siap!” mendengar perintah tuannya, pasukan penembak mengangkat senapannya dan siap pada posisi menembak. Yolan melihat pintu jalan menuju jamannya sinar lilinnya semakin redup. Rasanya semua usaha sia-sia saja.“Wirya cepat! Tidak ada gunanya lagi. Waktu kita
habis, kita harus pulang sebelum terlambat!” teriak Yolan. Percuma. Sekuat-kuatnya Yolan berteriak, suara keributan penduduk mengalahkan teriakannya itu. Sedangkan peluru mulai dimuntahkan dari larasnya. Sementara itu, di dunia nyata 13 lilin yang menyala di tengah lingkaran Nenek, Marshall, Erni, dan Wina nyalanya semakin redup dan tak lama kemudian padam. Sama sekali padam!.


0 Comments:

Post a Comment



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...